Negara Pasundan adalah negara yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April 1948. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa (sekarang Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan beribu kota di Bandung. Presiden pertama dan terakhirnya adalah Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema. Berdirinya Negara ini sangat tergantung akan bantuan Belanda, nampak terlihat saat Raden Soeriakarta Legawa
akan memproklamasikan pendirian negara ini di Bandung tahun 1947, Raden
Soeria Kartalegawa menunggu terlebih dahulu Pasukan Divisi Siliwangi
yang hijrah ke Yogyakarta pergi.
PROVINSI Jawa Barat sekarang, dulunya adalah Negara Pasundan, negara
bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdiri 24 April 1948, dari
tiga kali hasil konferensi, sebagai wali negara, pertama dan terakhir,
Wiranatakusumah. Namun ada versi lain Negara Pasundan yang berdiri 9 Mei
1947, dengan pemimpinnya Soeria Kartalegawa.
Saat Letnan Gubernur Jenderal Van Mook melakukan tahap-tahap awal pembentukan Indonesia Serikat, eks Bupati Garut Soeria Kartalegawa yang feodal, dan tidak bersimpatik pada pergerakan nasional, mendirikan Partai Rakyat Pasundan,
PRP, di Bogor, atas ide eks Perwira KNIL, Kolonel Santoso, penasehat
politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh intel militer Belanda, NEVIS.
Namun karena reputasi Kartalegawa sangat buruk, Van der Plas bahkan
menjulukinya fraudeur alias koruptor, sehingga bukan dia yang menjadi
ketuanya, melainkan Raden Sadikin,
pegawai pusat distribusi pangan milik Belanda di Bandung Utara. Sebagai
sekretaris dan bendahara, ditunjuk dua orang yang sebelum perang
menjadi sopir, dan di Era Pendudukan Jepang menjadi mandor kebun.
Keanggotaan dilakukan dengan ‘paksaan halus’.
Kartalegawa berusaha mewujudkan Negara Pasundan yang merdeka dari Indonesia. Usaha ini didukung Residen Belanda di Bandung, M. Klaassen, yang menulis sebuah laporan, tertanggal 27 Desember 1946.
Residen Preanger itu menulis dalam laporannya, bahwa sejak berabad-abad
lamanya, terjadi persaingan etnis Sunda-Jawa, akibat perbedaan adat,
tradisi, dan mentalitas. Indonesia selalu dipimpin oleh etnis Jawa, maka
PRP dipandang sebagai suatu gerakan rakyat yang spontan.
Residen menyambut gembira, karena di Tatar Pasundan
timbul gerakan antirepublik. Gerakan PRP semestinya didukung kendati di
dalamnya terdapat orang yang tidak seluruhnya bisa dipercaya, hanya
mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, dan bukan karena mencintai
Tatar Pasundan. Pendapat ini disetujui Gubernur Abbenhuis, tetapi Van
Mook menolaknya.
Kartalegawa menjadi nekat, melihat sikap Van Mook. Pada sebuah
pertemuan, 4 Mei 1947, di Bandung, yang dihadiri oleh 5000 orang, ia
memproklamasikan Negara Pasundan. Kendati dilarang oleh Van Mook,
pejabat Belanda setempat tetap menyediakan truk-truk untuk mengangkut
para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka disambut baik oleh
Kolonel Thompson dan Residen Statius Muller.
Pada masa itu, Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan
Kartalegawa dianggap pembelot. Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa
melancarkan gerakan di Bogor, Mei 1947, yakni menduduki kantor-kantor
dan stasiun, bahkan menawan seorang residen. Kasus PRP adalah pergolakan
politik yang menggambarkan situasi pasca Agresi Militer, Juli 1947, di
Tatar Sunda.